BREAKING NEWS

Blogger templates

Saturday 19 December 2009

Nazim Ardiansyah

KEMBALI, ini adalah bagian dari perjalanan dan pengalaman saya meliput. Setelah satu pekan lebih berada di Vientiane, saya bisa kembali mencicipi masakan rasa ‘Indonesia’ saat mensambangi Morning Market atau Talat Sao Mall yang mulai ramai didatangi atlet dan ofisial negara peserta SEA Games XXV/2009.

Adalah Nazim, pria asal India yang sedang mengadu nasib di Kota Vientiane. Meski seorang India tapi Nazim lumayan mengenal dan paham meracik masakan Indonesia. Tak mengherankan dalam daftar menu makanan, terpampang beberapa menu khas Indonesia seperti nasi goreang, kare ayam dan ayam goreng.

Rasa masakan racikan Nazim memang tak seakrab jika saya melahapnya di Bandung atau Kota lainya. Tapi setidaknya kare ayam ala Nazim seharga 25.000 kip, mampu membuat isi perut saya jadi kenyang, lebih penting lagi melepas rasa rindu akan masakan Indonesia ditengah kebingungan saya mencari makanan ‘berat’ berlabel halal.

Bicara kerinduan pada Tanah Air, kala itu lebih dari 400 atlet dan ofisial yang masuk dalam kontingen Indonesia di SEA Games 2009, mungkin sedang merasakan apa yang saya rasakan. Bedanya jika saya melepasnya lewat kuliner masakan Indonesia. Maka para atlet yang masih bertanding melepas rasa rindu akan Tanah Air lewat prestasi.

Perasaan saya bercampur jadi satu antara kaget, terkesima kemudian jadi sangat bangga. Kala mendengar kabar satu dari dua atlet gulat Indonesia yang meraih emas, Ardiansyah ternyata berjuang dengan menggunakan satu paru-paru demi mengibarkan Merah Putih di Booyong Gymnasium, National University.

Saya tak bisa melukiskan lebih perjuangan Ardiansyah, karena tak berada di arena menyaksikan langsung kesabaran Ardiansyah mengalahkan pegulat Thailand, Kongrichai Kritsada di laga terakhir kelas Gregory Romawi 50 kg putra.


Yang jelas saat itu, saya merasakan kebanggaan seperti yang pernah dirasakan rakyat Laos yang kian bangkit rasa nasionalismenya ketika timnas sepak bola mereka mempermalukan timnas
Merah Putih dengan skor 2-0 untuk kemudian megukir sejarah kali, pertama lolos ke semifinal SEA Games meski akhirnya gagal usai ditumbangkan Malaysia 1-3.

Jika berkenan, Nazim saat itu akan saya minta untuk mengubah namanya karena saya akan menyematkan nama ‘Nazim’ yang mengandung arti pemimpin atau nomor satu sebagai nama depan Ardiansyah. “Nazim Ardiansyah”, ya pegulat asal Kalimantan Timur tersebut, telah menjadi yang nomor satu dan membanggakan.
(**)

Sunday 28 June 2009

Indonesian Boring League

SI E hanya bisa terkekeh melihat Max dengan mudahnya menjaringkan bola kedalam jaring. Kata si E, Max terlalu ‘curang’ untuk menjadi pemain bola basket di Tanah Air karena postur tubuhnya yang menjulang.

Tubuh Centre Muba Hang Tuah itu, sudah cukup untuk mengembalikan memori saya pada sosok centre milik Philadelpia 76ers, Shawn Bradley di pertengahan 1990-an. Periode ketika olahraga Amerika Serikat mulai lebih memperkenalkan diri pada masyarakat olahraga Indonesia. Dengan ‘sombongnya’ mereka memamerkan salah satu produk kesuksesan bernama NBA, yang dipoles menjadi sebuah kompetisi berkelas dan menjanjikan lebih banyak mendatangkan duit.

Mungkin karena ketularan slogan NBA ‘I Love This Game’, kompetisi bola basket Indonesia mulai mencoba menjejaki sukses NBA. Terlalu muluk bermimpi menyamai sukses mereka, tapi setidaknya diawal penyelenggaraan ketika pemain asing mulai didatangkan. Aroma NBA setidaknya lebih terasa.

Saya masih mengingat Wayman Strickland dan Ray Kelly karena keduanya jadi serpihan puzzle dibalik gelar juara yang diraih ‘Persib’-nya bola basket, Hadtex Indosyntex Bandung. Saya pun masih mengingat lemparan tiga Mohamad Rifky di saat buzzer yang mengantar Aspac mengalahkan Hadtex.

Sayangnya semua itu tak berlangsung lama. Perlahan seperti menjadi sebuah kebiasaan buruk. Kita lebih suka menggeliat diawal, lebih suka menuruni bukit daripada berjalan menapaki bukit. Yang lebih maju hanya dari nama kompetisi yang lebih englishman.

Dari Kobatama ke Indonesian Basketball League. Tapi, Indonesia Basketball League, tak ubahnya sebuah permainan yang minim improvisasi dan inovasi lalu makin sering dilakukan makin membosankan. Untuk pertandingan level nasional sepertinya agak kurang wajar jika penonton yang hadir cuman 47 orang. Boleh lah sikit mengkritik (hehe,,,,,!). Bagaimana kalau akronimnya kita rubah saja jadi Indonesia Boring League.**

Saturday 20 June 2009

10


ANGKA 10 selalu diekspektasikan sebagai kesempurnaan. Di Negara kita angka 10 jadi ambang batas nilai maksimal seorang murid Sekolah, setidaknya aturan itu berlaku ketika saya dalam kurun 12 tahun, ‘dipaksa’ bangun lebih pagi setiap memasuki hari Senin –tak tahu untuk anak sekolahan zaman yang membuat jauh menjadi dekat dan dekat menjadi jauh dalam sekejap hehe….-.

Di sepakbola angka 10 menjadi keramat, gara-gara seorang Maradona. Sebenarnya Pele lebih dulu mengidentikan diri dengan angka genap ini. Tapi sentuhan Maradona membuat 10 mendapatkan tempat lebih terhormat. Bagi seorang pemain dalam sebuah tim, mendapat kepercayaan mengenakan angka 10 ibarat penghargaan tak langsung. Dia akan dianggap spesial dan bagian penting dari tim.

Secara tak sadar angka 10 pun bagi saya memiliki makna lebih. Setidaknya di angka 10, saya memiliki niat dan keinginan besar. Yang jelas apa yang saya lakukan di angka 10 hingga merasa terpancing membuat tulisan ini, belum benar-benar terasa. Tapi setidaknya saya telah menuduh diri untuk segera merubah dan berubah bukan kepada orang lain, tapi diri sendiri.

Terlalu percaya takhayul namanya jika saya berharap memperoleh angka 10, hanya karena memulainya dari angka 10. Mendapat angka 6 saja sudah cukup senang. Anggap saja 4-nya sebagai kekurangan.

10 Juni 2009, mudah-mudahan memang jadi awal. Paling tidak, saya sudah memperkenalkan diri lewat 10 portofolio kepada orang yang sejauh ini sebetulnya baru satu kali saya lihat wajahnya, itu pun tak pernah saya sapa bahkan jabat tangan.***

Saturday 11 April 2009

Kembali ke Belakang

JIKA dihitung-hitung dalam lima musim terakhir, total uang rakyat yang dihabiskan Persib Bandung menembus angka lebih dari Rp100 miliar. Jumlah yang lumayan fantastis untuk ukuran klub yang masih ‘rajin’ melaksanakan puasa gelar juara lebih dari satu dekade.

Kenyataan itu bukan tanpa menghadirkan unek-unek dibenak petinggi Maung Bandung. Termasuk Ketua Badan Pengelola Persib (BPP) Dada Rosada. Orang nomor satu di tubuh klub yang 14 Maret lalu genap berusia 76 tahun itu, mengungkapkan mau tak mau BLI harus segera menolong klub.

Besarnya jumlah pengeluaraan dinilai Dada tak melulu karena faktor klub ingin gagah-gagahan untuk membuktikan ambisi juara dengan cara merekrut pemain label bintang. Tapi lebih karena regulasi penggunaan maupun kontrak pemain seolah menuntut klub melakukan hal yang sifatnya jor-joran.

Dada kembali menyuarakan tak ada salahnya dalam beberapa hal, sepakbola Indonesia dikembalikan ke belakang. Total musim ini dana yang disiapkan Persib mencapai sekitar Rp29.5 miliar atau salah satu yang tertinggi diantara seluruh kontestan Liga Super 2008/2009. “Lebih baik mengacu kembali ke pola Perserikatan,” katanya.

Yang dimaksud Wali Kota Bandung tersebut, menyangkut penggunaan pemain. Dada menilai salah satu solusi terbaik untuk menekan pengeluaraan klub yang diprediksi dalam beberapa musim kedepan bakal jauh lebih kesulitan dana adalah dengan cara mencaplok aturan salah satu aturan non formal yang pernah berlaku ketika kompetisi Perserikatan masih berjalan.

“Lebih baik memberi kewajiban kepada klub menggunakan pemain binaan sendiri, misalnya dari total pemain yang ada 60-70% diantaranya pemain binaan. Selebihnya merupakan hasil perekrutan,” ucap Dada.

“Bukan kah hal ini lebih menjanjikan kesempatan kepada para pemain yang sebelumnya bersatus amatir untuk lebih cepat mengorbit ke tingkat profesional. Lebih dari itu, sisi positif lainya klub menjadi lebih terdorong untuk fokus dan menyandarkan diri pada pola pembinaan pemain,” lanjutnya.

Dada bukan sedang mengajak sepakbola Indonesia untuk mundur satu langkah. Sebab faktanya klub sepakbola di Indonesia cenderung lebih suka menghamburkan dibanding menghasilkan duit. Termasuk klub-klub yang dinilai flat hitam atau swasta seperti Pelita Jaya FC, Arema Malang, PKT Bontang dan beberapa klub eks Galatama lainya.

Dalam sebuah kesempatan, Ketua Umum Pelita, Gunawan Tamsir sempat mengungkapkan, The Young Guns sebenarnya belum seistimewa yang dibayangkan publik sepakbola nasional untuk urusan kemandirian. “Meski statusnya klub swasta, bukan berarti kami tak dituntut untuk mandiri. Malu rasanya jika terus menerus disubsidi dana perusahaan,” ungkap orang nomor satu di Pelita.

Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk belanja pemain membuat klub milik keluarga besar Bakrie itu, hingga dua dekade lebih tak kunjung mampu melepaskan diri dari ketergantungan induk semangnya, Bakrie Brothers.

“Belum ada keseimbangan antara cost, reward dan punishment. Padahal idealnya, sumber pemasukan terbesar datangnya dari arus lalu lintas transfer pemain, bukan sebaliknya, menjadi beban klub yang seolah tak berujung,” tandasnya.(***)

Friday 13 February 2009

Seandainya Saya Terlahir Sebagai Atlet Generasi Sekarang

‘SEANDAINYA saya terlahir sebagai atlet generasi sekarang,” lirih Suharyanto seusai menyampaikan harapan kepada Ketua KONI Jawa Barat, HM Ruslan di Gedung KONI Jabar.

Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah 12 April 1960 itu merasa iri melihat kehidupan atlet generasi saat ini. “Mungkin kondisinya masih sama, di Indonesia profesi sebagai atlet belum menjamin,” kata Suharyanto.

“Bonus Rp75 juta yang rata-rata diterima atlet peraih emas buat Jabar di PON mungkin nilainya sama dengan Rp300 ribu, bonus yang saya terima ketika meraih emas di PON 1985. Tapi Rp75 juta untuk ukuran kebutuhan saat ini, tentu nilai gunanya lebih baik dibanding Rp300 ribu,” tambahnya.

Rasa bangga mantan atlet lari jarak menengah dan jauh era 1980-an itu, kini mulai luntur seiring berputarnya roda kehidupan. Suharyanto tak lagi berjuang keras memperoleh prize money dan bonus pertandingan diatas lintasan kini ia lebih ‘suka’ mengayuh gerobak berisi jerigen minyak tanah dan tabung gas 3 kg demi melawan kerasnya tuntutan hidup.

Dulu, ia merupakan atlet andalan Jabar dan Indonesia. Meski medali yang diraihnya kala itu bukan medali emas seperti yang diidamkanya kala itu saat bertarung di SEA Games 1985 Jakarta dan 1987 di Bangkok. Tapi dua keping medali perunggu cukup untuk menegaskan kala itu, Suharyanto bukan pelari level rendah di kawasan Asia Tenggara.

Apalagi di tingkat nasional ia beberapa kali sukses mengharumkan Jabar di ajang multi event Pekan Olahraga Nasional (PON). Salah satunya ketika ia berhasil menjadi yang tercepat di nomor 10000 meter pada PON 1985 di Jakarta.Setahun sebelumnya ia pun sempat menjadi yang terbaik di Kejurnas Atletik usai mengawinkan emas nomor 5000 meter dan 10000 meter. Keberhasilan itu membuat Suharyanto dipanggil mengikuti persiapan tim atletik Indonesia untuk kejuaraan dunia atletik di Amerika Serikat pada 1985.

Rentetan prestasi emas Suharyanto yang seangkatan dengan salah satu generasi emas atletik Indonesia seperti dua pelari jarak pendek andalan Indonesia kala itu, Mardi Lestari dan Supriono. Sekarang hanya tinggal kenangan.

Bertahun-tahun Suharyanto bahkan tak pernah bercerita kepada tetangga jika ia sebenarnya pernah turut mengharumkan nama Indonesia diatas lintasan atletik. Ia tak sungkan mengakui sikapnya itu, lebih karena didorong perasaan malu atas kondisi perekonomian keluarganya yang serba pas-pasan.

“Mungkin hanya istri dan kerabat saya yang tahu. Saya tak pernah bercerita kepada tetangga soal apa dan siapa saya dahulu. Semua ini karena merasa malu dengan kondisi yang terjadi dan saya alami sekarang,” imbuh Suharyanto yang tinggal bersama istrinya, Ati di kawasan Buah Batu, Kota Bandung.

Demi mengurangi himpitan ekonomi, Suharyanto rela bolak-balik ke Gedung KONI Jabar demi sebuah tujuan yakni bantuan uang sekitar Rp15 juta untuk memuluskan niatnya membuka pangakalan usaha tabung gas di sekitar tempat tinggalnya. “Kalau terus dipersulit saya tak akan sungkan menyimpan gerobak dan koleksi medali ini didepan Gedung KONI Jabar. Biar masyarakat tahu seberapa besar perhatian dari petinggi olahraga terhadap para mantan atlet,” ujar Suharyanto.

Awalnya ia merasa kesal karena merasa permohonanya memperoleh dana bantuan terhambat peliknya administrasi. Tapi setelah memperoleh jaminan dari HM Ruslan ia pun sedikit merasa lega dan boleh berharap kehidupanya bisa lebih baik.(***)

Wednesday 11 February 2009

Berdiri, Jatuh dan Berdiri

Menoreh masa lalu, ada jejak-jejak yang harus diruntut jadi satu. Betapapun telah berserakan, puing-puing peninggalan tetap bernilai. Kemajuan adalah hasil kesadaran masa lalu dan langkah nyata masa kini.

-Penyusun Buku “Cita dan Citra Bandung Raya”-

SEBAIT kalimat pembuka pada buku setebal 52 halaman yang diterbitkan Manajemen BR pertengahan musim kompetisi Liga Indonesia I (1994/1995) itu, searah dengan perjalanan BR sebagai sebuah komunitas sepakbola.

Ibarat bayi yang baru lahir namun kurang perhatian, banyak diantara klub-klub berkategori semi-profesional yang berkompetisi di ajang Liga Sepak Bola Utama (Galatama) tak pernah mampu berdiri dan mandiri secara kokoh. Kebanyakan klub Galatama merupakan klub yang mencoba belajar, lantas jatuh. Sayangnya setelah jatuh jarang mampu bangkit kembali.

Tren seperti itu dialami oleh BR dalam perjalanan kariernya sebagai sebuah tim. Persoalan finansial lebih banyak mewarnai klub yang pada awal berdirinya ditangani pelatih, Risnandar tersebut. Kempisnya dana klub, tak lepas dari minimnya minat masyarakat Bandung untuk menyaksikan langsung pertandingan kandang BR.

Menurut catatan dokumentasi Yayasan Bandung Raya –Badan Hukum BR- hanya sekali pertandingan kandang BR di Galatama dihadiri penonton dalam jmumlah besar yakni pada kompetisi Galatam 1988/1989 saat menghadapi Pelita Jaya. Bagi sebuah klub bernafaskan profesional, miskin penonton berarti mengalami masalah ‘super’ serius.

Tapi seiring dengan waktu, tepatnya ketika otoritas sepak bola tertinggi di Tanah Air, PSSI menggabungkan dua kompetisi berbeda label, Galatama yang bernafas profesional dan Perserikatan yang masih amatir kedalam satu wadah kompetisi pada tahun 1994. Warna BR seolah berubah, penonton yang dulu cukup sulit untuk dighadirkan tak lahgi menjadi masalah. Meski pada awal kompetisi Ligina I pemandangan beberapa sudut tribun penonton di Stadion Siliwangi masih terlihat kosong.

Lambat laun kondisi BR mulai membaik, prestasi BR di Ligina bisa dianggap cukup mencengangkan. Sebelum kompetisi dimulai tak banyak yang memperkirakan jika klub yang dulu lebih akrab berada dipapan bawah saat berkompetisi di Galatam. Secara perlahan terus memperlihatkan potensinya.

Kemenangan dengan skor-skor telak terlihat cukup mudah di dapat BR, terutama setelah BR yang kala itu ditangani Nandar Iskandar mengikat tiga pemain asing yakni Kisito Pierre Olinga ‘Koppa’ Atangana, Tibidi Alexis dan Dejan Glusevic. Permainan BR begitu membius masyarakat Bandung dan sekitarnya. Sayang langkah BR terhenti di babak 12 besar Ligina I.

Namun kegagalan tersebut mampu dibalas pada musim kedua, bahkan langkah kaki BR yang di Ligina II diarsiteki pelatih Belanda, Henk Wullems, lebih jauh dibanding musim sebelumnya. Bukan hanya memperbaiki prestasi, BR mengukir prestasi sensasional usai merebut gelar juara dengan mengandaskan PSM Makasar 2-0 di Stadion Utama Senayan.

Pada musim berikutnya BR nyaris mempertahankan gelar juara, sayang Persebaya Surabaya menjadi batu karang yang sulit dihancurkan setelah kalah 1-3. Kegagalan itu menjadi akhir dari cerita perjalanan sebuah klub yang sepanjang kiprahnya terbilang lebih banyak bermodal nekad ini.(***)

Terkubur Dalam Keindahan

SEJAK berdiri pada 17 Juni 1987, nama Bandung Raya (BR) tenggelam oleh kebesaran saudara tuanya, Persib Bandung. Ketika wakil Jawa Barat ini berkiprah di ajang Galatama –Kompetisi Sepakbola Semi-Profesional- tak sekalipun mampu mencicipi manisnya gelar juara.

Pada era Galatama, BR lebih banyak berkutat di papan bawah. Jika saja kompetisi Galatama mengenal sistem promosi-degradasi, klub yang didirikan figur penting dengan latar belakang berbeda seperti Suhud Warnaen (alm), Agus Muhyidin, Mashud Wisnusaputra, Samsoeddin Tjoerita, Arifin Panigoro, Nugraha Besoes dan Mochamad Hidayat itu, sudah selayaknya terdegradasi ke kasta yang lebih rendah.

Garis nasib mengubah BR, ketika PSSI memutuskan melebur Perserikatan dan Galatama kedalam satu wadah bernama Liga Indonesia di tahun 1994. Bermodal pemain ‘buangan’ macam Adjat Sudrajat, Herry Kiswanto, Peri Sandria, Hermansyah dan lainya, BR memulai kompetisi dengan langkah tertatih.

BR yang kala itu diasuh Nandar Iskandar, mampu mencuri perhatian. Salah satu kunci dibalik semua itu, tak lepas dari keputusan Manajemen BR dibawah komando Tri Goestoro untuk membuka pintu bagi Dejan Glusevic. Legiun asing asal Yugoslavia (Montenegro) ini, diangkut BR karena dianggap klub pemiliknya, Pelita Jaya sulit berkembang.

Keputusan yang berbuah manis, mengandalkan Peri-Dejan di lini depan ditambah kedatangan dua pemain asal Kamerun Kisito Pierre Olinga ‘Koppa’ Atangana (defender) dan Tibidi Alexis (gelandang serang/sayap). Membuat BR berubah menjadi tim yang sulit dikalahkan dan ditakuti sekalipun harus bermain dikandang lawan.

Setelah mampu mengukir prestasi menembus babak 8 besar, banyak yang menganggap BR calon kuat sebagai yang terbaik di penyelenggaraan perdana Ligina. Faktanya, BR yang hanya butuh hasil seri untuk meraih tiket semifinal. Akhirnya gagal usai dikandaskan Pupuk Kaltim 1-2 pada laga terakhir babak 8 besar.

Kegagalan di Ligina I tak membuat BR yang berubah nama menjadi Mastrans Bandung Raya (MBR) hancur dimusim berikutnya. Tanpa banyak perubahan di komposisi pemain. Ditambah perggeseran pada kursi pelatih, dimana posisi Nandar digantikan arsitek asal Belanda, Henk Wullems membuat MBR tetap menjadi tim kuat.

Usai finish diurutan teratas putaran pertama sekaligus memastikan tiket ke babak 12 besar. MBR mampu memperbaiki prestasi yang diraih di musim sebelumnya setelah berhasil menembus partai semi final. Menghadapi Mitra Surabaya, MBR menunjukan kematangan mentalnya dalam drama adu penalti dengan skor 4-2 (0-0, 0-0).

Di laga pamungkas, lawan yang lebih berat sudah menanti. Tapi PSM, ternyata gagal menghentikan langkah MBR usai menyerah 0-2, lewat gol dari duet striker MBR Peri dan Heri Rafni Kotari di Stadion Utama Senayan.

Musim ketiga seolah menjadi awal tenggelamnya BR. Selain harus kehilangan Dejan yang ‘dibajak’ Pelita. BR yang diarsiteki Albert Fapie (Belanda) kala itu, memang mampu mencapai partai final. Namun, Persebaya Surabaya yang dihuni pemain-pemain bintang seperti Carlos de Mello, Jacksen Tiago, Aji Santoso, Eri Erianto (alm) dan lainya terlalu tangguh bagi BR yang menyerah 1-3.

Setelah kegagalan tersebut ditambah persoalaan finansial, akibat minimnya dukungan terutama pemerintah daerah. Manajemen BR memutuskan klub ini tak ikut berkompetisi. Keputusan yang sebenanya sangat memukul para pendukungnya kala itu.

Sebelum memutuskan mundur disadari atau tidak BR sebenarnya telah menyedot perhatian masyarakat Bandung dan Jabar. Kalau saja mampu bertahan dan sampai saat ini secara kontinu berkiprah pada kompetisi Ligina. Tak mustahil Bandung bakal terbelah dua, ‘biru’ Persib dan ‘biru’ Bandung Raya.

Prestasi hebat BR pada tiga musim berturut-turut Ligina I-III) menjadi sebuah rangkaian cerita yang membuat klub ini seperti terkubur dalam keindahan.(***)

Sunday 25 January 2009

Modal Ketekunan

HAMPIR seperempat abad sosok kakek kelahiran Bandung 6 Januari 1940 ini, hanya bermodal ketekunan dan kesabaran, perlahan tapi pasti terus memasyarakatkan olah raga squash tak hanya di Tanah Kelahiranya, Jawa Barat tapi juga Nusantara.

Memiliki latar belakang seorang atlet bulu tangkis era 1960-an, Amar Maryana. Cintanya tak pernah surut pada olah raga yang tergolong masih hijau di Indonesia ini. Diantara tokoh lainya termasuk kakak iparnya, Suyono AR. Amar paling getol, mengembangkan dan memperkenalkan olah raga squash di tanah air.

“Kakak ipar saya yang pertama kali memperkenalkan squash. (Sejenak mengembalikan memorinya ke belakang) Kalau tidak salah pada tahun 1982, seiring dengan rencana pembangunan lapangan squash di sekitar kawasan Stadion Siliwangi (Bandung Squash Club),” ungkap Amar mengenang perkenalanya dengan olah raga ini.

Pernah suatu ketika Amar menyebar dan menempel pamplet pengumuman yang lebih cocok disebut ‘iklan’ bernada ajakan bermain squash pada beberapa sudut ruangan di GOR KONI Kota Bandung, Jalan Jakarta. “Bukan satu atau dua kali saya melakukanya di GOR Bandung. Ironisnya tak ada satu pun yang mengahampiri untuk sekadar mengatakan tertarik bermain squash,” kenang Paman mantan pebulutangis nasional dan peraih emas ganda putera Olimpiade Atlanta 1996, Ricky Subagja tersebut.

Tapi pengalaman tersebut hanyalah satu dari sekian banyak pengalaman yang dialaminya saat memperkenalkan olah raga squash ke tengah masyarakat. Sebuah kenangan yang saat ini hanya bisa membuat pria yang cukup ramah ini tersenyum penuh kebanggaan.

Muncul kepuasaan tersendiri dalam batinya saat menyaksikan ketekunan dan keuletan sekitar 57 orang muridnya yang rata-rata masih berumur belasan tahun berlatih di Sekolah Squash Lodaya (SSL) yang didirikan atas prakarsa Amar dan beberapa rekanya pada 2005 lalu. “Pemandangan yang tak saya dapatkan dan tak pernah terlihat sebelum Sekolah Squash ini berdiri,” imbuhnya.(***)

Kenapa Persib Sulit Memperoleh Sponsor Kakap

ADA hal menarik dibalik kesepakatan kerjasama PT Telkom dengan klub bola basket, Garuda Bandung. Raksasa bisnis telekomunikasi milik negara yang bermarkas di Kota Kembang itu, memutuskan memilih jawara turnamen IBL 2008 tersebut, sebagai mitra pengembangan salah satu produk mereka di masyarakat.
Bicara strategi pemasaran, Garuda sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai ikon olahraga yang menjanjikan untuk memperluas pasar sebuah produk. Karena itu muncul pertanyaan kenapa Telkom lebih memilih Garuda dibanding komunitas olahraga yang memiliki basis pendukung luar biasa seperti Persib Bandung?

Tak ada penjelasan detail yang disampaikan Direktur Marketing Telkom, I Nyoman Wiryanata. Dia hanya menyatakan, Telkom sengaja memilih Garuda karena dunia bola basket Indonesia jauh dari citra negatif seperti tawuran yang melibatkan pemain maupun suporter.
“Semuanya sesuai apa yang kami harapkan, terutama terkait image (citra) yang ingin diperoleh. Kami menilai bola basket tak banyak meninggalkan kesan negatif dan sangat menjunjung tinggi sportivitas dan nilai-nilai fair play. Satu hal yang perlu diketahui, bukan pihak Garuda yang meminta, namun justru kami yang meminta Garuda bekerjasama. Nilainya jauh lebih kecil dari apa yang bisa kami peroleh setelah mensponsori Garuda dari sisi brandit,” katanya.

Padahal bicara mampu dan tidak Telkom menyuntik dana segar kepada sebuah komunitas olahraga yang tiap tahunya membutuhkan dana berlipat dan bernilai puluhan miliar seperti Maung Bandung. Dengan kekayaan perusahaan yang mencapai sekitar Rp142 triliun, Telkom bisa melakukanya.

Bicara hubungan dengan Persib, Telkom tak bisa dikatakan tak memiliki hubungan dekat. Sekadar diketahui ketika Maung Bandung membumikan trofi Presiden sebagai simbol juara Liga Indonesia I musim 1994/1995, Telkom merupakan salah satu pihak yang berada dibelakang kesuksesan tersebut.

Lalu apa yang membuat Persib sejauh ini kesulitan mendapatkan investor kelas kakap, meski sudah berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Wakil Manajer, Umuh Moechtar dalam sebuah kesempatan pernah mengungkapkan salah satu hal penting yang selama ini seolah dipinggirkan Maung Bandung yakni upaya menumbuhkan dan memperoleh kepercayaan dari luar maupun dalam.

“Prinsip seorang pengusaha atau perusahaan meraih keuntungan bukan kerugian. Entah itu keuntungan dalam arti materi maupun diluar itu, termasuk didalamnya citra perusahaan,” papar Umuh.

Sebagai pengusaha, Umuh memang paham apa yang mesti dilakukan jika pembahasanya sudah mengarah pada aspek bisnis. Ia menyadari Persib dan sepakbola Indonesia, berpotensi besar dibanding cabang olahraga lain untuk mengembangkan diri ke arah Industri. Tapi berapa pun nilai potensi yang dimiliki jika kesan negatif lebih menonjol, tak banyak hal yang bisa diperbuat.

“Tak ada kejelasan kemana larinya uang hasil tender panpel (Rp1.05 miliar), begitu juga dengan uang kompensasi sekitar Rp100 juta dari sponsor apprarel. Jadi jangankan menumbuhkan kepercayaan dari luar. Sikap saling percaya didalam tim saja belum mampu dilakukan dengan baik,” ucap salah seorang pengurus.

Sebagai contoh kasus urungnya produk apparel raksasa asal Italia, Diadora yang gagal memperoleh tempat di Persib. Padahal kala itu, Diadora kabarnya sudah bersedia menyediakan ‘barang’ yang dibutuhkan tim yang total bernilai lebih dari yang ditawarkan sponspor apparel Persib saat ini, Villour.

Meski kesepakatan pengurus teras Persib dengan Villour dijalin atas nama demi mengembangkan produk lokal. Namun, alasan tersebut tentunya rancu dengan konsep membangun industri seperti yang didengungkan pengurus teras.(***)

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates