BREAKING NEWS

Blogger templates

Friday 13 February 2009

Seandainya Saya Terlahir Sebagai Atlet Generasi Sekarang

‘SEANDAINYA saya terlahir sebagai atlet generasi sekarang,” lirih Suharyanto seusai menyampaikan harapan kepada Ketua KONI Jawa Barat, HM Ruslan di Gedung KONI Jabar.

Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah 12 April 1960 itu merasa iri melihat kehidupan atlet generasi saat ini. “Mungkin kondisinya masih sama, di Indonesia profesi sebagai atlet belum menjamin,” kata Suharyanto.

“Bonus Rp75 juta yang rata-rata diterima atlet peraih emas buat Jabar di PON mungkin nilainya sama dengan Rp300 ribu, bonus yang saya terima ketika meraih emas di PON 1985. Tapi Rp75 juta untuk ukuran kebutuhan saat ini, tentu nilai gunanya lebih baik dibanding Rp300 ribu,” tambahnya.

Rasa bangga mantan atlet lari jarak menengah dan jauh era 1980-an itu, kini mulai luntur seiring berputarnya roda kehidupan. Suharyanto tak lagi berjuang keras memperoleh prize money dan bonus pertandingan diatas lintasan kini ia lebih ‘suka’ mengayuh gerobak berisi jerigen minyak tanah dan tabung gas 3 kg demi melawan kerasnya tuntutan hidup.

Dulu, ia merupakan atlet andalan Jabar dan Indonesia. Meski medali yang diraihnya kala itu bukan medali emas seperti yang diidamkanya kala itu saat bertarung di SEA Games 1985 Jakarta dan 1987 di Bangkok. Tapi dua keping medali perunggu cukup untuk menegaskan kala itu, Suharyanto bukan pelari level rendah di kawasan Asia Tenggara.

Apalagi di tingkat nasional ia beberapa kali sukses mengharumkan Jabar di ajang multi event Pekan Olahraga Nasional (PON). Salah satunya ketika ia berhasil menjadi yang tercepat di nomor 10000 meter pada PON 1985 di Jakarta.Setahun sebelumnya ia pun sempat menjadi yang terbaik di Kejurnas Atletik usai mengawinkan emas nomor 5000 meter dan 10000 meter. Keberhasilan itu membuat Suharyanto dipanggil mengikuti persiapan tim atletik Indonesia untuk kejuaraan dunia atletik di Amerika Serikat pada 1985.

Rentetan prestasi emas Suharyanto yang seangkatan dengan salah satu generasi emas atletik Indonesia seperti dua pelari jarak pendek andalan Indonesia kala itu, Mardi Lestari dan Supriono. Sekarang hanya tinggal kenangan.

Bertahun-tahun Suharyanto bahkan tak pernah bercerita kepada tetangga jika ia sebenarnya pernah turut mengharumkan nama Indonesia diatas lintasan atletik. Ia tak sungkan mengakui sikapnya itu, lebih karena didorong perasaan malu atas kondisi perekonomian keluarganya yang serba pas-pasan.

“Mungkin hanya istri dan kerabat saya yang tahu. Saya tak pernah bercerita kepada tetangga soal apa dan siapa saya dahulu. Semua ini karena merasa malu dengan kondisi yang terjadi dan saya alami sekarang,” imbuh Suharyanto yang tinggal bersama istrinya, Ati di kawasan Buah Batu, Kota Bandung.

Demi mengurangi himpitan ekonomi, Suharyanto rela bolak-balik ke Gedung KONI Jabar demi sebuah tujuan yakni bantuan uang sekitar Rp15 juta untuk memuluskan niatnya membuka pangakalan usaha tabung gas di sekitar tempat tinggalnya. “Kalau terus dipersulit saya tak akan sungkan menyimpan gerobak dan koleksi medali ini didepan Gedung KONI Jabar. Biar masyarakat tahu seberapa besar perhatian dari petinggi olahraga terhadap para mantan atlet,” ujar Suharyanto.

Awalnya ia merasa kesal karena merasa permohonanya memperoleh dana bantuan terhambat peliknya administrasi. Tapi setelah memperoleh jaminan dari HM Ruslan ia pun sedikit merasa lega dan boleh berharap kehidupanya bisa lebih baik.(***)

Wednesday 11 February 2009

Berdiri, Jatuh dan Berdiri

Menoreh masa lalu, ada jejak-jejak yang harus diruntut jadi satu. Betapapun telah berserakan, puing-puing peninggalan tetap bernilai. Kemajuan adalah hasil kesadaran masa lalu dan langkah nyata masa kini.

-Penyusun Buku “Cita dan Citra Bandung Raya”-

SEBAIT kalimat pembuka pada buku setebal 52 halaman yang diterbitkan Manajemen BR pertengahan musim kompetisi Liga Indonesia I (1994/1995) itu, searah dengan perjalanan BR sebagai sebuah komunitas sepakbola.

Ibarat bayi yang baru lahir namun kurang perhatian, banyak diantara klub-klub berkategori semi-profesional yang berkompetisi di ajang Liga Sepak Bola Utama (Galatama) tak pernah mampu berdiri dan mandiri secara kokoh. Kebanyakan klub Galatama merupakan klub yang mencoba belajar, lantas jatuh. Sayangnya setelah jatuh jarang mampu bangkit kembali.

Tren seperti itu dialami oleh BR dalam perjalanan kariernya sebagai sebuah tim. Persoalan finansial lebih banyak mewarnai klub yang pada awal berdirinya ditangani pelatih, Risnandar tersebut. Kempisnya dana klub, tak lepas dari minimnya minat masyarakat Bandung untuk menyaksikan langsung pertandingan kandang BR.

Menurut catatan dokumentasi Yayasan Bandung Raya –Badan Hukum BR- hanya sekali pertandingan kandang BR di Galatama dihadiri penonton dalam jmumlah besar yakni pada kompetisi Galatam 1988/1989 saat menghadapi Pelita Jaya. Bagi sebuah klub bernafaskan profesional, miskin penonton berarti mengalami masalah ‘super’ serius.

Tapi seiring dengan waktu, tepatnya ketika otoritas sepak bola tertinggi di Tanah Air, PSSI menggabungkan dua kompetisi berbeda label, Galatama yang bernafas profesional dan Perserikatan yang masih amatir kedalam satu wadah kompetisi pada tahun 1994. Warna BR seolah berubah, penonton yang dulu cukup sulit untuk dighadirkan tak lahgi menjadi masalah. Meski pada awal kompetisi Ligina I pemandangan beberapa sudut tribun penonton di Stadion Siliwangi masih terlihat kosong.

Lambat laun kondisi BR mulai membaik, prestasi BR di Ligina bisa dianggap cukup mencengangkan. Sebelum kompetisi dimulai tak banyak yang memperkirakan jika klub yang dulu lebih akrab berada dipapan bawah saat berkompetisi di Galatam. Secara perlahan terus memperlihatkan potensinya.

Kemenangan dengan skor-skor telak terlihat cukup mudah di dapat BR, terutama setelah BR yang kala itu ditangani Nandar Iskandar mengikat tiga pemain asing yakni Kisito Pierre Olinga ‘Koppa’ Atangana, Tibidi Alexis dan Dejan Glusevic. Permainan BR begitu membius masyarakat Bandung dan sekitarnya. Sayang langkah BR terhenti di babak 12 besar Ligina I.

Namun kegagalan tersebut mampu dibalas pada musim kedua, bahkan langkah kaki BR yang di Ligina II diarsiteki pelatih Belanda, Henk Wullems, lebih jauh dibanding musim sebelumnya. Bukan hanya memperbaiki prestasi, BR mengukir prestasi sensasional usai merebut gelar juara dengan mengandaskan PSM Makasar 2-0 di Stadion Utama Senayan.

Pada musim berikutnya BR nyaris mempertahankan gelar juara, sayang Persebaya Surabaya menjadi batu karang yang sulit dihancurkan setelah kalah 1-3. Kegagalan itu menjadi akhir dari cerita perjalanan sebuah klub yang sepanjang kiprahnya terbilang lebih banyak bermodal nekad ini.(***)

Terkubur Dalam Keindahan

SEJAK berdiri pada 17 Juni 1987, nama Bandung Raya (BR) tenggelam oleh kebesaran saudara tuanya, Persib Bandung. Ketika wakil Jawa Barat ini berkiprah di ajang Galatama –Kompetisi Sepakbola Semi-Profesional- tak sekalipun mampu mencicipi manisnya gelar juara.

Pada era Galatama, BR lebih banyak berkutat di papan bawah. Jika saja kompetisi Galatama mengenal sistem promosi-degradasi, klub yang didirikan figur penting dengan latar belakang berbeda seperti Suhud Warnaen (alm), Agus Muhyidin, Mashud Wisnusaputra, Samsoeddin Tjoerita, Arifin Panigoro, Nugraha Besoes dan Mochamad Hidayat itu, sudah selayaknya terdegradasi ke kasta yang lebih rendah.

Garis nasib mengubah BR, ketika PSSI memutuskan melebur Perserikatan dan Galatama kedalam satu wadah bernama Liga Indonesia di tahun 1994. Bermodal pemain ‘buangan’ macam Adjat Sudrajat, Herry Kiswanto, Peri Sandria, Hermansyah dan lainya, BR memulai kompetisi dengan langkah tertatih.

BR yang kala itu diasuh Nandar Iskandar, mampu mencuri perhatian. Salah satu kunci dibalik semua itu, tak lepas dari keputusan Manajemen BR dibawah komando Tri Goestoro untuk membuka pintu bagi Dejan Glusevic. Legiun asing asal Yugoslavia (Montenegro) ini, diangkut BR karena dianggap klub pemiliknya, Pelita Jaya sulit berkembang.

Keputusan yang berbuah manis, mengandalkan Peri-Dejan di lini depan ditambah kedatangan dua pemain asal Kamerun Kisito Pierre Olinga ‘Koppa’ Atangana (defender) dan Tibidi Alexis (gelandang serang/sayap). Membuat BR berubah menjadi tim yang sulit dikalahkan dan ditakuti sekalipun harus bermain dikandang lawan.

Setelah mampu mengukir prestasi menembus babak 8 besar, banyak yang menganggap BR calon kuat sebagai yang terbaik di penyelenggaraan perdana Ligina. Faktanya, BR yang hanya butuh hasil seri untuk meraih tiket semifinal. Akhirnya gagal usai dikandaskan Pupuk Kaltim 1-2 pada laga terakhir babak 8 besar.

Kegagalan di Ligina I tak membuat BR yang berubah nama menjadi Mastrans Bandung Raya (MBR) hancur dimusim berikutnya. Tanpa banyak perubahan di komposisi pemain. Ditambah perggeseran pada kursi pelatih, dimana posisi Nandar digantikan arsitek asal Belanda, Henk Wullems membuat MBR tetap menjadi tim kuat.

Usai finish diurutan teratas putaran pertama sekaligus memastikan tiket ke babak 12 besar. MBR mampu memperbaiki prestasi yang diraih di musim sebelumnya setelah berhasil menembus partai semi final. Menghadapi Mitra Surabaya, MBR menunjukan kematangan mentalnya dalam drama adu penalti dengan skor 4-2 (0-0, 0-0).

Di laga pamungkas, lawan yang lebih berat sudah menanti. Tapi PSM, ternyata gagal menghentikan langkah MBR usai menyerah 0-2, lewat gol dari duet striker MBR Peri dan Heri Rafni Kotari di Stadion Utama Senayan.

Musim ketiga seolah menjadi awal tenggelamnya BR. Selain harus kehilangan Dejan yang ‘dibajak’ Pelita. BR yang diarsiteki Albert Fapie (Belanda) kala itu, memang mampu mencapai partai final. Namun, Persebaya Surabaya yang dihuni pemain-pemain bintang seperti Carlos de Mello, Jacksen Tiago, Aji Santoso, Eri Erianto (alm) dan lainya terlalu tangguh bagi BR yang menyerah 1-3.

Setelah kegagalan tersebut ditambah persoalaan finansial, akibat minimnya dukungan terutama pemerintah daerah. Manajemen BR memutuskan klub ini tak ikut berkompetisi. Keputusan yang sebenanya sangat memukul para pendukungnya kala itu.

Sebelum memutuskan mundur disadari atau tidak BR sebenarnya telah menyedot perhatian masyarakat Bandung dan Jabar. Kalau saja mampu bertahan dan sampai saat ini secara kontinu berkiprah pada kompetisi Ligina. Tak mustahil Bandung bakal terbelah dua, ‘biru’ Persib dan ‘biru’ Bandung Raya.

Prestasi hebat BR pada tiga musim berturut-turut Ligina I-III) menjadi sebuah rangkaian cerita yang membuat klub ini seperti terkubur dalam keindahan.(***)

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates