BREAKING NEWS

Blogger templates

Saturday 29 May 2010

Perang Mengubur Mimpi Yugoslavia

--Di sini saya berdiri, di hadapan wajah-wajah yang berani mengambil resiko, di depan mereka yang berani mengorbankan karier dan hidupnya. Berdiri untuk sesuatu yang dianggap pantas dan layak. Berdiri karena satu keyakinan, Kroasia--

Kalimat itu meluncur dari mulut Zvonimir Boban -legenda sepakbola Kroasia yang kala itu baru berusia 21 tahun-, setelah insiden kerusuhan berbau suku, ras dan agama (SARA), pada pertandingan Liga Yugoslavia, Dynamo Zagreb versus Red Star Belgrade di stadion Maksimir, Zagreb, 10 Juni 1990.

Sebelum pertandingan dimulai, suasana panas sudah sangat terasa. Yel-yel yang kental aroma rasis, politik dan ancaman dilantangkan fans Red Star. Franco Tudjaman pemimpin Kroasia saat itu, jadi sasaran cibiran ultras Red Star, menggambarkan kearoganan orang Serbia -kami akan bunuh Tudjman, karena Zagreb milik Serbia-.

Tawuran massal antar kedua suporter tak terelakan, petugas keamanan Kota Zagreb yang mayoritas orang-orang Serbia, terlibat saling lempar batu, adu jotos dan bentuk kekerasan lainnya.

Polisi cenderung lebih fokus mengejar dan menangkap orang-orang Kroasia. Hingga tiba pemandangan yang menarik perhatian Boban saat Polisi meringkus seorang pendukung Dynamo Zagreb di tengah lapang.

Tak rela melihat pendukung Dynamo Zagreb di gebug dan di tangkap polisi Serbia. Boban melayangkan tendangan ke arah petugas polisi hingga sang petugas terjengkang. Fans yang ditolong Boban pun berhasil membebaskan diri.

Naas bagi Boban, dia akhirnya di tangkap dan di jerat hukuman karena telah menyerang petugas keamanan. Tapi rakyat Kroasia kemudian menempatkan kejadian di Maksimir sebagai serpihan perjuangan patritotik rakyat Kroasia melepaskan diri dari kungkungan orang-orang Serbia.

Empat tahun kemudian didirikan tugu monumen untuk mengenang kepahlawanan Boban dan suporter sepakbola Kroasia. Sekaligus simbol terkuburnya kemapanan sepakbola Balkan yang sudah menggeliat kembali pasca keberhasilan pasukan muda Yugoslavia menjuarai Piala Dunia U-20 di Cile tahun 1987, setelah menumbangkan Jerman Barat lewat drama adu penalti 6-5.***

MORTIR, tank, AK-47, rudal dan berbagai jenis senjata modern lain telah meluluhlantakan kawasan Balkan. Pembantaian etnis besar-besaran terjadi di ujung timur Eropa. Konflik berbau suku, ras, serta agama yang sudah berlangsung berabad-abad, mencapai puncaknya di akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an.

Di mata muslim Bosnia, Presiden Slobodan Milosevic sama hina dan kejinya dengan Israel di hadapan rakyat Palestina. Tak manusiawi seperti Muhammed Farah Aidit yang membiarkan rakyat Somalia dilanda kelaparan massal dan dirundung perang saudara berkepanjangan.

Rakyat Bosnia paling merasakan kekejian Milosevic. Ratusan ribu muslim Bosnia tewas di tangan prajurit Serbia. Sebuah karikatur menggambarkan bagaimana masyarakat internasional seharusnya menempatkan Milosevic di dalam tungku panas.

Perang telah menghancurkan semua sektor. Yugoslavia pecah menjadi beberapa bagian, sesuai karakteristik budaya, agama dan etnisnya. Bosnia Herzegovina, Kroasia, Macedonia, Slovenia, Montenegro dan Serbia tak lagi bersatu di bawah bendera Federal Yugoslavia.

Kekejaman Milosevic ikut meruntuhkan sepakbola Yugoslavia. Kerusuhan suporter berbau SARA jadi warna kental sepakbola Yugoslavia akhir 1980-an dan awaln 1990-an. Hingga akhirnya pada 30 Mei 1992 keluar resolusi PBB nomor 757.

Dalam poin F disebutkan PBB melarang partisipasi olahragawan asal Yugoslavia di event internasional. Hal itu kemudian ditindak lanjuti UEFA dan FIFA. Yugoslavia akhirnya dilarang tampil pada putaran final Piala Eropa 1992 di Swedia.

Tempat Yugoslavia diganti runner-up grup 4, Denmark yang akhirnya mengejutkan dan meledak-ledak sesuai julukanya. Ledakan tim Dinamit menenggelamkan kapal Inggris dan Perancis di penyisihan grup, lalu merobohkan dam Belanda di semifinal dan tank Jerman dihancurkan di laga puncak.

Andai, FIFA tak memasung Yugoslavia, mereka yang mengangkat trofi Henry Delauney di Stadion Ullevi Goteborg, musim panas 1992 mungkin bukan Brian Laudrup, Kim Vilfort, Jon Jansen, Peter Scheimechel dan lainya.

Tetapi barisan anak muda Yugoslavia yang baru mekar seperti Robert Prosinecki, Dejan Savicevic, Predrag Mijatovic, Dejan Stojkovic, Robert Jarni, Sinisa Mihajlovic, Davor Suker, atau striker yang saat itu sedang naik daun Darko Pancev.

Kala itu, kekuatan sepakbola Eropa seperti sedang bergeser ke arah timur. Kesuksesan Red Star Belgrade (Crvena Zvezna) menjuarai Piala Champions 1991 dan Piala Intercontinental di tahun yang sama, merupakan kelanjutan dari keberhasilan Yugslavia di Piala Dunia U-20 tahun 1987 dan jadi bukti kebangkitan sepakbola Balkan setelah sekian tahun tertidur.

Ketika mimpi indah mulai dirangkai dan terasa bakal terwujud. Pertentangan politik dan rasa benci antar etnis telah mengahancurkan semua mimpi-mimpi itu. Sepakbola Balkan yang baru saja melahirkan sejumlah pemain berbakat -di kemudian hari dikenang publik sepakbola dunia-, sekejap ikut hancur.

"Perang telah menghancurkan segalanya. Jika saja kami masih bersama, mungkin tangisan yang terdengar bukan tangisan dari mereka yang kehilangan putra, istri dan suami akibat peluru yang ditembakan serdadu Serbia," ucap Robert Prosinecki.***


DI detik-detik jelang kematian sepakbola Balkan, Yugoslavia menyimpan beberapa pemain dengan nama besar dan diakui Eropa bahkan dunia. Kebesaran mereka diwakili oleh kesuksesan Red Star Belgrade memukul Olympique Marseille di final Liga Champions 1990/1991 di Stadio San Nicola, Bari.

Kawasan Serbia memiliki Predrag Mijatovic, Sinisa Mihajlovic, Vladimir Jugovic, Dejan Stojkovic, Mateza Kezman, Darko Kovacevic, Savo Milosevic dan Dejan Savicevic yang oleh publik sepakbola Italia dijuluki Il Genio (Si Jenius) berkat sentuhan hebatnya bersama AC Milan.

Kroasia tak kalah getol melahirkan pesepakbola handal, Robert Jarni, Robert Prosinecki, Mario Stanic, Igor Tudor, Zvonimir Boban, Alen Boksic, Kovac bersaudara (Niko dan Robert), serta Zvonimir Boban jadi produk handal sepakbola Kroasia.

Melintas ke Bosnia Herzegovina, era 1980-an hingga 1990-an muncul beberapa nama besar dari tanah Bosnia yang mayoritas penduduknya memeluk Islam setelah wilayah ini dikuasai Kekaisaran Turki Ottoman. Nama Vahid Halilhodzic, Dejamudin Musevic hingga Hasan Salihamidzic dan generasi Edin Dzeko. Mereka terlahir sebagai legenda sepakbola Bosnia.

Kemudian Macedonia, pernah melahirkan sejumlah pemain hebat di bawah belengu rezim sosialis. Darko Pancev sempat berkostum Inter Milan setelah ambil bagian mengantarkan Red Star merajai Eropa dan Dunia. Nama lainnya, Dusan Pesic, Bosko Prodanovic, Vladimir Radaca, berlanjut ke era Goran Pandev.

Sedangkan Slovenia, tergolong konsisten menelorkan bakat-bakat lapangan hijau. Di era Negara Federal Yugoslavia, wilayah Slovenia mewakilkan Srecko Katanec sebagai ikon sepakbolanya. Setelah memproklamirkan kemerdekaanya pada 12 Juni 1991, sepakbola Slovenia tetap stabil.

Beberapa pemain Slovenia sempat mencicipi karier di kompetisi Liga yang termasuk 10 besar di Eropa seperti Zlatko Zahovic (Benfica), Milenko Acimovic (Lille), Zlatko Dedic (Parma) dan Alexander Knavs (Vfl Wolfsburg).

Dari semua Negara pecahan Yugoslavia, prestasi Kroasia bisa dikatakan yang terhebat. Kroasia pernah mengejutkan di Euro 1996 dan hanya kalah tipis 1-2 dari Jerman di perempatfinal.

Piala Dunia 1998 di Perancis menjadi momentum pengakuan dunia kepada sepakbola Kroasia. Davor Suker cs, sukses melenggang hingga semifinal sebelum akhirnya takluk 1-2 di tangan tuan rumah dan menutup pesta sepakbola terbesar di dunia dengan menundukan Belanda 2-1 di perebutan tempat ketiga.***

Saturday 1 May 2010

4 Juta Kata Persib

SEKADAR iseng, saya coba menuliskan nama Persib di mesin pencari (search engine) Google. Setelah di-enter, saya mendapatkan sekitar 4.410.000 hasil untuk penelusuran nama Persib. Ketika saya ketik Persib Bandung, ada sekitar 770.000 hasil penelusuran.
Saya pun mencoba mengetik sepuluh tim papan atas Liga Super, mulai dari Arema Indonesia sampai PSPS Pekanbaru.
Hasil pencariannya sebagai berikut, Arema Indonesia 583.000 hasil pencarian, Persiba Balikpapan (144.000), Persipura Jayapura (154.000), Persija Jakarta (382.000), Persema Malang (130.000), Sriwijaya FC (369.000), Persiwa Wamena (98.300), Persijap Jepara (93.500) dan PSPS Pekanbaru (137.000).(**)
 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates