BREAKING NEWS

Blogger templates

Sunday 28 June 2009

Indonesian Boring League

SI E hanya bisa terkekeh melihat Max dengan mudahnya menjaringkan bola kedalam jaring. Kata si E, Max terlalu ‘curang’ untuk menjadi pemain bola basket di Tanah Air karena postur tubuhnya yang menjulang.

Tubuh Centre Muba Hang Tuah itu, sudah cukup untuk mengembalikan memori saya pada sosok centre milik Philadelpia 76ers, Shawn Bradley di pertengahan 1990-an. Periode ketika olahraga Amerika Serikat mulai lebih memperkenalkan diri pada masyarakat olahraga Indonesia. Dengan ‘sombongnya’ mereka memamerkan salah satu produk kesuksesan bernama NBA, yang dipoles menjadi sebuah kompetisi berkelas dan menjanjikan lebih banyak mendatangkan duit.

Mungkin karena ketularan slogan NBA ‘I Love This Game’, kompetisi bola basket Indonesia mulai mencoba menjejaki sukses NBA. Terlalu muluk bermimpi menyamai sukses mereka, tapi setidaknya diawal penyelenggaraan ketika pemain asing mulai didatangkan. Aroma NBA setidaknya lebih terasa.

Saya masih mengingat Wayman Strickland dan Ray Kelly karena keduanya jadi serpihan puzzle dibalik gelar juara yang diraih ‘Persib’-nya bola basket, Hadtex Indosyntex Bandung. Saya pun masih mengingat lemparan tiga Mohamad Rifky di saat buzzer yang mengantar Aspac mengalahkan Hadtex.

Sayangnya semua itu tak berlangsung lama. Perlahan seperti menjadi sebuah kebiasaan buruk. Kita lebih suka menggeliat diawal, lebih suka menuruni bukit daripada berjalan menapaki bukit. Yang lebih maju hanya dari nama kompetisi yang lebih englishman.

Dari Kobatama ke Indonesian Basketball League. Tapi, Indonesia Basketball League, tak ubahnya sebuah permainan yang minim improvisasi dan inovasi lalu makin sering dilakukan makin membosankan. Untuk pertandingan level nasional sepertinya agak kurang wajar jika penonton yang hadir cuman 47 orang. Boleh lah sikit mengkritik (hehe,,,,,!). Bagaimana kalau akronimnya kita rubah saja jadi Indonesia Boring League.**

Saturday 20 June 2009

10


ANGKA 10 selalu diekspektasikan sebagai kesempurnaan. Di Negara kita angka 10 jadi ambang batas nilai maksimal seorang murid Sekolah, setidaknya aturan itu berlaku ketika saya dalam kurun 12 tahun, ‘dipaksa’ bangun lebih pagi setiap memasuki hari Senin –tak tahu untuk anak sekolahan zaman yang membuat jauh menjadi dekat dan dekat menjadi jauh dalam sekejap hehe….-.

Di sepakbola angka 10 menjadi keramat, gara-gara seorang Maradona. Sebenarnya Pele lebih dulu mengidentikan diri dengan angka genap ini. Tapi sentuhan Maradona membuat 10 mendapatkan tempat lebih terhormat. Bagi seorang pemain dalam sebuah tim, mendapat kepercayaan mengenakan angka 10 ibarat penghargaan tak langsung. Dia akan dianggap spesial dan bagian penting dari tim.

Secara tak sadar angka 10 pun bagi saya memiliki makna lebih. Setidaknya di angka 10, saya memiliki niat dan keinginan besar. Yang jelas apa yang saya lakukan di angka 10 hingga merasa terpancing membuat tulisan ini, belum benar-benar terasa. Tapi setidaknya saya telah menuduh diri untuk segera merubah dan berubah bukan kepada orang lain, tapi diri sendiri.

Terlalu percaya takhayul namanya jika saya berharap memperoleh angka 10, hanya karena memulainya dari angka 10. Mendapat angka 6 saja sudah cukup senang. Anggap saja 4-nya sebagai kekurangan.

10 Juni 2009, mudah-mudahan memang jadi awal. Paling tidak, saya sudah memperkenalkan diri lewat 10 portofolio kepada orang yang sejauh ini sebetulnya baru satu kali saya lihat wajahnya, itu pun tak pernah saya sapa bahkan jabat tangan.***

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates