BREAKING NEWS

Blogger templates

Sunday 25 January 2009

Modal Ketekunan

HAMPIR seperempat abad sosok kakek kelahiran Bandung 6 Januari 1940 ini, hanya bermodal ketekunan dan kesabaran, perlahan tapi pasti terus memasyarakatkan olah raga squash tak hanya di Tanah Kelahiranya, Jawa Barat tapi juga Nusantara.

Memiliki latar belakang seorang atlet bulu tangkis era 1960-an, Amar Maryana. Cintanya tak pernah surut pada olah raga yang tergolong masih hijau di Indonesia ini. Diantara tokoh lainya termasuk kakak iparnya, Suyono AR. Amar paling getol, mengembangkan dan memperkenalkan olah raga squash di tanah air.

“Kakak ipar saya yang pertama kali memperkenalkan squash. (Sejenak mengembalikan memorinya ke belakang) Kalau tidak salah pada tahun 1982, seiring dengan rencana pembangunan lapangan squash di sekitar kawasan Stadion Siliwangi (Bandung Squash Club),” ungkap Amar mengenang perkenalanya dengan olah raga ini.

Pernah suatu ketika Amar menyebar dan menempel pamplet pengumuman yang lebih cocok disebut ‘iklan’ bernada ajakan bermain squash pada beberapa sudut ruangan di GOR KONI Kota Bandung, Jalan Jakarta. “Bukan satu atau dua kali saya melakukanya di GOR Bandung. Ironisnya tak ada satu pun yang mengahampiri untuk sekadar mengatakan tertarik bermain squash,” kenang Paman mantan pebulutangis nasional dan peraih emas ganda putera Olimpiade Atlanta 1996, Ricky Subagja tersebut.

Tapi pengalaman tersebut hanyalah satu dari sekian banyak pengalaman yang dialaminya saat memperkenalkan olah raga squash ke tengah masyarakat. Sebuah kenangan yang saat ini hanya bisa membuat pria yang cukup ramah ini tersenyum penuh kebanggaan.

Muncul kepuasaan tersendiri dalam batinya saat menyaksikan ketekunan dan keuletan sekitar 57 orang muridnya yang rata-rata masih berumur belasan tahun berlatih di Sekolah Squash Lodaya (SSL) yang didirikan atas prakarsa Amar dan beberapa rekanya pada 2005 lalu. “Pemandangan yang tak saya dapatkan dan tak pernah terlihat sebelum Sekolah Squash ini berdiri,” imbuhnya.(***)

Kenapa Persib Sulit Memperoleh Sponsor Kakap

ADA hal menarik dibalik kesepakatan kerjasama PT Telkom dengan klub bola basket, Garuda Bandung. Raksasa bisnis telekomunikasi milik negara yang bermarkas di Kota Kembang itu, memutuskan memilih jawara turnamen IBL 2008 tersebut, sebagai mitra pengembangan salah satu produk mereka di masyarakat.
Bicara strategi pemasaran, Garuda sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai ikon olahraga yang menjanjikan untuk memperluas pasar sebuah produk. Karena itu muncul pertanyaan kenapa Telkom lebih memilih Garuda dibanding komunitas olahraga yang memiliki basis pendukung luar biasa seperti Persib Bandung?

Tak ada penjelasan detail yang disampaikan Direktur Marketing Telkom, I Nyoman Wiryanata. Dia hanya menyatakan, Telkom sengaja memilih Garuda karena dunia bola basket Indonesia jauh dari citra negatif seperti tawuran yang melibatkan pemain maupun suporter.
“Semuanya sesuai apa yang kami harapkan, terutama terkait image (citra) yang ingin diperoleh. Kami menilai bola basket tak banyak meninggalkan kesan negatif dan sangat menjunjung tinggi sportivitas dan nilai-nilai fair play. Satu hal yang perlu diketahui, bukan pihak Garuda yang meminta, namun justru kami yang meminta Garuda bekerjasama. Nilainya jauh lebih kecil dari apa yang bisa kami peroleh setelah mensponsori Garuda dari sisi brandit,” katanya.

Padahal bicara mampu dan tidak Telkom menyuntik dana segar kepada sebuah komunitas olahraga yang tiap tahunya membutuhkan dana berlipat dan bernilai puluhan miliar seperti Maung Bandung. Dengan kekayaan perusahaan yang mencapai sekitar Rp142 triliun, Telkom bisa melakukanya.

Bicara hubungan dengan Persib, Telkom tak bisa dikatakan tak memiliki hubungan dekat. Sekadar diketahui ketika Maung Bandung membumikan trofi Presiden sebagai simbol juara Liga Indonesia I musim 1994/1995, Telkom merupakan salah satu pihak yang berada dibelakang kesuksesan tersebut.

Lalu apa yang membuat Persib sejauh ini kesulitan mendapatkan investor kelas kakap, meski sudah berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Wakil Manajer, Umuh Moechtar dalam sebuah kesempatan pernah mengungkapkan salah satu hal penting yang selama ini seolah dipinggirkan Maung Bandung yakni upaya menumbuhkan dan memperoleh kepercayaan dari luar maupun dalam.

“Prinsip seorang pengusaha atau perusahaan meraih keuntungan bukan kerugian. Entah itu keuntungan dalam arti materi maupun diluar itu, termasuk didalamnya citra perusahaan,” papar Umuh.

Sebagai pengusaha, Umuh memang paham apa yang mesti dilakukan jika pembahasanya sudah mengarah pada aspek bisnis. Ia menyadari Persib dan sepakbola Indonesia, berpotensi besar dibanding cabang olahraga lain untuk mengembangkan diri ke arah Industri. Tapi berapa pun nilai potensi yang dimiliki jika kesan negatif lebih menonjol, tak banyak hal yang bisa diperbuat.

“Tak ada kejelasan kemana larinya uang hasil tender panpel (Rp1.05 miliar), begitu juga dengan uang kompensasi sekitar Rp100 juta dari sponsor apprarel. Jadi jangankan menumbuhkan kepercayaan dari luar. Sikap saling percaya didalam tim saja belum mampu dilakukan dengan baik,” ucap salah seorang pengurus.

Sebagai contoh kasus urungnya produk apparel raksasa asal Italia, Diadora yang gagal memperoleh tempat di Persib. Padahal kala itu, Diadora kabarnya sudah bersedia menyediakan ‘barang’ yang dibutuhkan tim yang total bernilai lebih dari yang ditawarkan sponspor apparel Persib saat ini, Villour.

Meski kesepakatan pengurus teras Persib dengan Villour dijalin atas nama demi mengembangkan produk lokal. Namun, alasan tersebut tentunya rancu dengan konsep membangun industri seperti yang didengungkan pengurus teras.(***)

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates