
SI E hanya bisa terkekeh melihat Max dengan mudahnya menjaringkan bola kedalam jaring. Kata si E, Max terlalu ‘curang’ untuk menjadi pemain bola basket di Tanah Air karena postur tubuhnya yang menjulang.
Tubuh Centre Muba Hang Tuah itu, sudah cukup untuk mengembalikan memori saya pada sosok centre milik Philadelpia 76ers, Shawn Bradley di pertengahan 1990-an. Periode ketika olahraga Amerika Serikat mulai lebih memperkenalkan diri pada masyarakat olahraga
Mungkin karena ketularan slogan NBA ‘I Love This Game’, kompetisi bola basket
Saya masih mengingat Wayman Strickland dan Ray Kelly karena keduanya jadi serpihan puzzle dibalik gelar juara yang diraih ‘Persib’-nya bola basket, Hadtex Indosyntex Bandung. Saya pun masih mengingat lemparan tiga Mohamad Rifky di saat buzzer yang mengantar Aspac mengalahkan Hadtex.
Sayangnya semua itu tak berlangsung lama. Perlahan seperti menjadi sebuah kebiasaan buruk. Kita lebih suka menggeliat diawal, lebih suka menuruni bukit daripada berjalan menapaki bukit. Yang lebih maju hanya dari nama kompetisi yang lebih englishman.
Dari Kobatama ke Indonesian Basketball League. Tapi, Indonesia Basketball League, tak ubahnya sebuah permainan yang minim improvisasi dan inovasi lalu makin sering dilakukan makin membosankan. Untuk pertandingan level nasional sepertinya agak kurang wajar jika penonton yang hadir cuman 47 orang. Boleh lah sikit mengkritik (hehe,,,,,!). Bagaimana kalau akronimnya kita rubah saja jadi Indonesia Boring League.**
Post a Comment