BREAKING NEWS

Blogger templates

Wednesday 11 February 2009

Berdiri, Jatuh dan Berdiri

Menoreh masa lalu, ada jejak-jejak yang harus diruntut jadi satu. Betapapun telah berserakan, puing-puing peninggalan tetap bernilai. Kemajuan adalah hasil kesadaran masa lalu dan langkah nyata masa kini.

-Penyusun Buku “Cita dan Citra Bandung Raya”-

SEBAIT kalimat pembuka pada buku setebal 52 halaman yang diterbitkan Manajemen BR pertengahan musim kompetisi Liga Indonesia I (1994/1995) itu, searah dengan perjalanan BR sebagai sebuah komunitas sepakbola.

Ibarat bayi yang baru lahir namun kurang perhatian, banyak diantara klub-klub berkategori semi-profesional yang berkompetisi di ajang Liga Sepak Bola Utama (Galatama) tak pernah mampu berdiri dan mandiri secara kokoh. Kebanyakan klub Galatama merupakan klub yang mencoba belajar, lantas jatuh. Sayangnya setelah jatuh jarang mampu bangkit kembali.

Tren seperti itu dialami oleh BR dalam perjalanan kariernya sebagai sebuah tim. Persoalan finansial lebih banyak mewarnai klub yang pada awal berdirinya ditangani pelatih, Risnandar tersebut. Kempisnya dana klub, tak lepas dari minimnya minat masyarakat Bandung untuk menyaksikan langsung pertandingan kandang BR.

Menurut catatan dokumentasi Yayasan Bandung Raya –Badan Hukum BR- hanya sekali pertandingan kandang BR di Galatama dihadiri penonton dalam jmumlah besar yakni pada kompetisi Galatam 1988/1989 saat menghadapi Pelita Jaya. Bagi sebuah klub bernafaskan profesional, miskin penonton berarti mengalami masalah ‘super’ serius.

Tapi seiring dengan waktu, tepatnya ketika otoritas sepak bola tertinggi di Tanah Air, PSSI menggabungkan dua kompetisi berbeda label, Galatama yang bernafas profesional dan Perserikatan yang masih amatir kedalam satu wadah kompetisi pada tahun 1994. Warna BR seolah berubah, penonton yang dulu cukup sulit untuk dighadirkan tak lahgi menjadi masalah. Meski pada awal kompetisi Ligina I pemandangan beberapa sudut tribun penonton di Stadion Siliwangi masih terlihat kosong.

Lambat laun kondisi BR mulai membaik, prestasi BR di Ligina bisa dianggap cukup mencengangkan. Sebelum kompetisi dimulai tak banyak yang memperkirakan jika klub yang dulu lebih akrab berada dipapan bawah saat berkompetisi di Galatam. Secara perlahan terus memperlihatkan potensinya.

Kemenangan dengan skor-skor telak terlihat cukup mudah di dapat BR, terutama setelah BR yang kala itu ditangani Nandar Iskandar mengikat tiga pemain asing yakni Kisito Pierre Olinga ‘Koppa’ Atangana, Tibidi Alexis dan Dejan Glusevic. Permainan BR begitu membius masyarakat Bandung dan sekitarnya. Sayang langkah BR terhenti di babak 12 besar Ligina I.

Namun kegagalan tersebut mampu dibalas pada musim kedua, bahkan langkah kaki BR yang di Ligina II diarsiteki pelatih Belanda, Henk Wullems, lebih jauh dibanding musim sebelumnya. Bukan hanya memperbaiki prestasi, BR mengukir prestasi sensasional usai merebut gelar juara dengan mengandaskan PSM Makasar 2-0 di Stadion Utama Senayan.

Pada musim berikutnya BR nyaris mempertahankan gelar juara, sayang Persebaya Surabaya menjadi batu karang yang sulit dihancurkan setelah kalah 1-3. Kegagalan itu menjadi akhir dari cerita perjalanan sebuah klub yang sepanjang kiprahnya terbilang lebih banyak bermodal nekad ini.(***)

Share this:

Post a Comment

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates